Literasi Dalam Pendidikan Modern dan Tantangan Globalisasi

Dalam pendidikan modern dan tantangan era global sekarang, keberliterasian bukan lagi sekadar urusan bagaimana suatu bangsa bebas dari buta aksara, tetapi telah menjadi syarat kecakapan hidup dan kemampuan bersaing satu negara dalam persaingan pasar kerja. Survei telah membuktikan, negara-negara yang budaya literasinya tinggi berbanding lurus dengan kemampuan bangsa tersebut memenangi persaingan global, terutama dalam penguasaan ilmu dan teknologi, kehebatan ekonomi, serta sukses dalam persaingan pasar kerja.

Kondisi Budaya Literasi di Indonesia

Hasil survei Progress in International Reading Literacy Study (PIRLS) tentang budaya literasi siswa sekolah dasar kelas IV di 45 negara menempatkan Indonesia pada peringkat ke-41 dari 45 negara peserta. Tahun 1992, Association for the Educational Achievement (IAEA) mencatat bahwa Finlandia dan Jepang sudah termasuk negara dengan tingkat membaca tertinggi di dunia dari 30 negara yang disurvei. Dalam survei ini, Indonesia berada pada peringkat dua terbawah, artinya pada posisi peringkat ke-28

Di tahun 1997, Program for International Students Assessment (PISA) menyebutkan bahwa Indonesia— yang untuk pertama kalinya ikutserta dalam survei tentang budaya literasi—menempati peringkat ke-40 dari 41 negara. Selanjutnya dalam survei yang sama pada tahun 2000, Indonesia menempati peringkat ke-64 dari 65 negara partisipan. Dalam survei tentang budaya literasi di negara-negara ASEAN, peringkat Indonesia bahkan berada di bawah Vietnam, negara yang jauh lebih muda dibandingkan Indonesia.

Empat hasil surveidi atas sudah cukup memberi gambaran mengenai rendahnya budaya literasi anak sekolah di Indonesia; anak-anak yang kelak tidak saja akan menjadi pemimpin, tetapi juga menjadi anak bangsa yang kuat dalam sumber daya manusianya.

Kalau bangsa Indonesia ingin merebut kemenangan dalam persaingan antarbangsa, yang semakin sengit dalam perebutan pasar kerja, mau tak mau harus merancang pendidikan yang bisa menaikkan indeks literasi. Salah satu cara menaikkan indeks literasi suatu bangsa adalah melaksanakan kegiatan pembelajaran yang membiasakan anak-anak Indonesia punya kebiasaan membaca dan menulis; dan sebagai suatu gerakan kebangsaan, pembiasaan ini haruslah dimulai dari jenjang sekolah dasar.

Makna pembiasaan membaca di sekolah dasar juga menjadi bagian penting dalam kerangka penumbuhan budi pekerti melalui penumbuhan kecakapan berbahasa. Penumbuhan budaya literasi harus dimulai dari upaya pembiasaan gemar membaca menulis sebagai “langkah pertama” dalam satu masa pembentukan budaya literasi untuk mencapai “puncak” dari ketinggian peradaban bangsa.

Gerakan Literasi Sekolah

Dalam kerangka itu pulalah, sejak tanggal 18 Agustus 2015, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2015 meluncurkan suatu gerakan penumbuhan budaya baca-tulis yang bertajuk “Gerakan Literasi Sekolah” dengan tema “Bahasa Penumbuh Budi Pekerti”

Langkah, cara, dan strategi penting untuk penumbuhan budaya baca tersebut kemudian dituangkan dalam Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 23 Tahun 2015. Permendikbud yang menginisiasi kegiatan membaca limabelas menit bagi siswa sebelum masuk ke kelas mata pelajaran adalah bagian penting dari pemulaan penumbuhan budaya literasi bangsa.

Langkah yang sangat strategis dan penting dalam penumbuhan budi pekerti melalui bahasa adalah dengan membiasakan anak sekolah membaca buku-buku naratif yang memberi inspirasi dan semangat.

Dalam kerangka inilah, Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengambil langkah strategis melalui program Gerakan Nasional Literasi Bangsa (GNLB) dengan sasaran anak sekolah dasar dan anak-anak seusia anak sekolah dasar di komunitas pegiat baca.

Agar membaca dalam GNLB bukan sekadar membaca, maka inisiasi pembiasaan membaca perlu didorong melalui satu strategi membaca produktif, yaitu membaca tidak hanya untuk membaca, tetapi membaca untuk menghasilkan tulisan; dan inilah hakikat dari (budaya) literasi.

Dengan cara ini, GNLB yang dirancang dan dilaksanakan dalam kurun waktu empat tahun (2016—2019) oleh Pusat Pembinaan, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, bersama Balai dan Kantor Bahasa di 30 provinsi di seluruh Indonesia, adalah melatih anak sekolah dan anak seusia sekolah dasar di komunitas pegiat baca membaca cerita naratif dan kemudian meringkaskan hasil bacaan dalam bentuk tulisan pendek yang sederhana.

Dengan pembiasaan membaca buku-buku naratif dan meringkas (kembali) narasi bacaannya, anak sekolah dasar dan anak-anak seusia sekolah dasar di komunitas baca, ada tiga mantaat penting yang bisa dicapai GNLB:

  1. pembentukan kebiasaan membaca sejak usia dini,
  2. peningkatan pemerolehan kosa kata sebagai bagian penting dari peningkatan kacakapan berbahasa (Indonesia), dan
  3. pengasahan nalar pada anak sejak dini.

Tiga capaian penting ini berkaitan erat dengan penumbuhan budi pekerti melalui “bahasa penumbuh budi pekerti”.

Dengan begitu, kegiatan membaca produktif diharapkan akan menjadi bagian penting dari upaya menaikkan budaya literasi sebagai tanda utama perabadan kecerdasan bangsa. Anak-anak Indonesia yang berbudaya literasi (tinggi) pada masa pertumbuhan kecerdasannya juga akan bisa bersaing dalam pasar kerja antarbangsa yang kini telah menjadi tantangan (dan ancaman) nyata bagi semua bangsa.

 

Literasi Dalam Pendidikan Modern dan Tantangan Globalisasi